News
Obral Pengampunan “Dosa” SLIK-OJK untuk Debitur “Hitam” Jangan Sampai Membuang “Sampah” di Buku Bank
Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
PARA debitur yang selama ini “mati perdata” atawa masuk daftar blacklist, kini hidup lagi. Masa lalu yang pernah menunggak kredit dan masuk daftar SLIK-OJK, bisa mendapatkan kredit perumahan. Padahal, selama ini SLIK-OJK menjadi pintu pertama bagi bank untuk memberikan kredit. Jangan sampai “obral” pengampunan “dosa” ini akan menjadi malapetaka bank di masa datang, karena kelakuan buruk debitur di masa lalu menjadikan bank sebagai “sampah” kredit macet.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri pun tak akan meloloskan pengurus bank yang pernah punya kredit macet, dan masuk SLIK-OJK harus dibereskan dulu. Pengurus bank yang masuk SLIK-OJK tidak akan di fit and proper test untuk menjadi pengurus. Bahkan, bank-bank pun tidak berminat merekrut karyawan jika calon karyawan masuk daftar hitam kredit macet.
Pekan lalu, OJK obral pengampunan “dosa” kepada debitur yang masuk daftar hitam. Pendek kata, OJK pastikan masyarakat dengan catatan kredit hitam dapat mengajukan kredit perumahan. Menurut Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner OJK, tidak terdapat ketentuan OJK yang melarang pemberian kredit, atau pembiayaan untuk debitur yang memiliki kredit dengan kualitas non-lancar.
Menurut Mahendra, hal ini ditunjukkan dengan praktik yang telah dilaksanakan oleh Lembaga Jasa Keuangan (LJK), dimana per November 2024, tercatat sebesar 2,35 juta rekening kredit baru diberikan oleh LJK kepada debitur yang sebelumnya memiliki kredit non-lancar dari seluruh pelapor SLIK. Pendek kata, selama ini debitur yang pernah masuk daftar hitam kini sudah menikmati kredit baru.
Penegasan OJK ini bisa jadi untuk mendorong program 3 juta rumah per tahun. Selama ini, banyak debitur perumahan yang tidak lolos karena masalah SLIK-OJK yang dijadikan bank-bank dalam memutuskan kredit. Hal ini tidak salah. Sebab, bank-bank tentu kreditnya aman.
Tidak hanya soal SLIK-OJK. Tapi, ada tiga hal penting yang dilakukan oleh OJK agar benar-benar sektor properti ini jalan dengan baik. Satu, kualitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dapat dinilai hanya berdasarkan ketepatan pembayaran. Hanya satu pilar. Perlakuan penilaian kualitas aset tersebut bersifat lebih longgar dibandingkan kredit lainnya dimana bank menilai dengan tiga pilar (prospek usaha, kinerja debitur, kemampuan membayar).
Dua, KPR dapat dikenakan bobot risiko yang rendah dan ditetapkan secara granular dalam perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit (ATMR Kredit). Lebih longgar bobot risiko dalam perhitungan kesehatan bank.
Tiga, OJK juga mendukung dari sisi pendanaan kepada pengembang perumahan. Sejak 1 Januari 2023, larangan pemberian kredit pengadaan atau pengolahan tanah telah dicabut.
Bahkan, OJK telah memberikan keleluasaan bagi pengembang perumahan untuk memperoleh pembiayaan dari perbankan untuk pengadaan atau pengolahan tanah. Bank diharapkan dapat menerapkan manajemen risiko sendiri dengan baik.
Luar biasa OJK memberi dorongan kepada sektor properti. Namun yang perlu diwaspadai adalah ancaman kredit macer ke depan. Selama ini, kredit bermasalah properti sering lebih besar dari kredit bermasalah rata-rata nasional. Menurut data Biro Riset Infobank, selama tahun 2024, NPL perbankan berkisar 2,20%-2,42%. Sementara NPL sektor properti berkisar 2,64%-2,72%.
Itu artinya, risiko selama ini, kredit properti lebih tinggi. Jangan sampai obral pengampunan “dosa” SLIK-OJK ini akan menjadi bencana kredit macet bagi sektor perbankan. Nah, meski penilaian bank hanya bertumpu pada satu pilar (ketepatan membayar), tapi risiko besar pada bank ke depan juga harus menjadi hal utama, karena KPR berjangka panjang.
Bahkan, jangan sampai pengalaman sebelum krisis dimana pemberian kredit untuk membeli tanah telah menjadi bencana bagi bank-bank. Tanah dijaminkan ke bank dengan harga yang lebih mahal. Misalnya, sebidang tanah telah dilakukan mark-up lebih dahulu, lalu “disekolahkan” ke bank.
Apalagi, ke bank sendiri karena sampai sekarang bank juga boleh menyalurkan kredit ke pemegang saham sesuai ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Pengawasan pemberian kredit kepada pembelian tanah ini juga harus lebih ketat. Jangan sampai Hak Guna Bangunan (HGB) laut yang sedang ramai ini bisa dibiayai oleh bank.
Namun pada akhirnya, pengampunan dosa akibat catatan hitam debitur bukan hal yang paling pokok. Pengalaman bank, banyaknya debitur KPR yang ditolak, bukan semata-mata karena SLIK-OJK. Bahwa persyaratan itu penting bagi bank. Akan tetapi, soal kemampuan debitur untuk mengangsur tiap bulannya dalam jangka panjang, seperti 20 tahun ke depan. Apakah debitur dengan sistem kerja kontrak ini akan tetap lancar di masa datang?
Di sisi lain, harga rumah yang terlewat mahal, tidak bisa diimbangi oleh kemampuan membayar calon debitur. Jadi, inti soalnya adalah pada kemampuan calon debitur sendiri dalam membayar pinjaman KPR-nya. Bahwa, OJK memberi kemudahan soal SLIK-OJK ini adalah baik, tapi di sisi lain juga akan berdampak pada moral hazard untuk tidak membayar pinjaman lainnya. Lha, boleh macet ngutang, dan tidak lagi takut pada hantu daftar hitam debitur yang harus dijauhi.
Rendahnya kemampuan membayar ini juga disebabkan rendahnya daya beli masyarakat. Jadi, kuncinya pada daya beli. Bukan soal semata administrasi SLIK-OJK. SLIK-OJK bukan sebab, tapi akibat. Bahkan, memang soal kapasitas membayar cicilan tiap bulan ini yang jadi soal utama. Kepada bank-bank tetaplah hati-hati dalam menyalurkan kredit meski ada relaksasi dari OJK untuk sektor perumahan. Jangan sampai pemutihan kredit macet ini akan menjadikan bank sebagai “sampah” kredit properti.
Dan, tetaplah waspada jangan pula bank menjadi motor utama dalam spekulasi tanah. Jika itu terjadi, maka bank seperti menyimpan “bom waktu” kredit macet. Hati-hati, perbankan pernah punya pengalaman buruk ini ketika krisis 1998 lalu. (Sumber: infobanknews.com)