News

Salah Kaprah! DPR Bisa Copot di Tengah Jalan Bos BI, OJK, LPS dan Lembaga Negara Lainnya, Sungguh Berbahaya!
Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
MABUK kekuasaan, hingga tak punya batas lagi. Bahkan, ada yang menyebut kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kini sudah melebihi kekuasaan era Orde Baru. Di tangan DPR segalanya bisa dilakukan. Terbaru, “libido” DPR bisa mencopot di tengah jalan pejabat negara yang sudah dinyatakan lulus fit & proper test, sudah dilantik presiden, sudah disumpah Mahkamah Agung dan bahkan sudah menjabat.
Soal “kesalahan” pejabat negara itu urusan belakang, dalam dunia politik bisa dicari. Tidak ada yang menyadari, mabuk kekuasaan ini akan menghancurkan kepercayaan terhadap Lembaga-lembaga independen, khususnya di sektor keuangan seperti pada Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Bahkan, pencopotan di tengah jalan ini berbeda dengan nafas yang ada dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Di sektor keuangan dan perbankan, dampak dari keserakahan DPR RI ini menimbulkan ketidakpastian. Akhirnya pos-pos strategis yang independen pun “loyo” dalam “ketiak” politik partai-partai.
Jujur ketidakpastian sistem keuangan dimulai dari sini. Lembaga Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) terganggu dan sungguh membahayakan ketika dunia global sedang tidak baik-baik saja. Lembaga independen, seperti BI, OJK dan LPS harusnya dijauhkan dari intervensi partai politik yang dipresentasikan di DPR.
Bayangkan. Jika BI dibuat tidak independen seperti zaman Orde Baru — yang pengawasan bank waktu itu tergantung order Orde Baru. Hasilnya bank-bank hancur, dan mengucurlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bahkan, dalam suatu waktu BI mencetak uang sesuka pemerintah berkuasa.
Pemilihan Gubernur BI, Komisioner OJK dan LPS adalah koreksi dari kehancuran masa lalu. Kasus BLBI sedikit banyak adalah karena BI tidak independen dalam pengawasan bank waktu itu. Jika sekarang pengawasan bank ke OJK dan dibuat tidak independen, maka inilah awal kehancuran dari sektor keuangan Indonesia. Sebab, prinsip campur tangan dalam pengawasan dan pengelolaan bank awal dari kendornya prinsip prudential banking.
Rapat Paripurna DPR RI, tanggal 4 Februari 2025 telah mengesahkan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR RI. Pendek kata, DPR kini memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR.
Lebih jelas, revisi “terburu-buru” ini memberi DPR ruang untuk meninjau kembali kinerja pejabat negara yang telah mereka tetapkan dalam rapat paripurna. Jika dalam evaluasi ditemukan kinerja yang tidak memenuhi harapan, DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian (pasal 228A). Bisa dicopot di tengah jalan.
Siapa saja pejabat negara yang bisa dicopot di tengah jalan oleh DPR? Pejabat tersebut antara lain adalah Komisioner, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA), Kapolri dan Panglima TNI. Juga, Gubernur BI dan para deputinya dan tentu Ketua OJK, Komisioner LPS. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Semua Lembaga yang pernah dilakukan fit & proper test, termasuk badan supervisi OJK, LPS dan BI. Semua bisa dikoreksi oleh DPR. Menurut catatan Infobank, ada lebih dari 300 pejabat negara yang sudah diseleksi oleh DPR.
Melebihi Era Orde Baru
Sejumlah ahli hukum mengutuk “libido” DPR ini. Ada yang menyebut revisi tata tertib DPR yang memberi wewenang untuk mencopot pejabat negara yang sudah terpilih ini, sebagai langkah salah kaprah. Alasannya, jika DPR sampai masuk ke ruang-ruang para pejabat negara, ini artinya sudah ada intervensi. Bisa jadi, DPR sudah salah kaprah memahami tugas dan fungsinya melakukan fit & proper test.
Itu artinya pula, DPR menjadi Lembaga superbody, atau superior. Bahkan, jika membandingkan zaman Orde Baru. Jelas perubahan bisa mencopot pecabutan di tengah jalan ini melampaui apa yang pernah terjadi di era Orde Baru. Apalagi, tata tertib DPR ini sifatnya internal DPR, dan bukan melakukan intervensi terhadap pejabat negara, meski DPR yang melakukan fit & proper test.
Jangan seolah-olah DPR yang melakukan fit & proper test, maka DPR lah yang menghasilkan para pejabat negara terpilih. Sebab, dalam proses selanjutnya masih ada Presiden. Nah, jika Presiden tidak memberikan keputusan toh hasil fit & proper test yang dilakukan oleh DPR tidak ada artinya.
Itu artinya, DPR tidak bisa bertindak seolah-olah di atas pejabat negara yang di-fit & proper test. Hubungan ketatanegaraan adalah hubungan fungsional. Jadi, harusnya DPR melihat fit & proper test terhadap pejabat negara sebagai bagian dari menjalankan Undang-undang. Dan, bukan berdasarkan arogansi kedudukan DPR lebih tinggi dari pejabat negara yang mereka uji.
Menurut diskusi internal Infobank Institute, pemberhentian di tengah jalan kepada pejabat negara yang fit & proper test-nya di DPR, selain salah kaprah. Tapi, juga sudah kelewatan. Lebih buruk lagi, lembaga-lembaga yang harusnya independen ini ternyata sedang mengalami politisasi. Hal ini akan berdampak pada tidak independennya lembaga-lembaga negara.
Padahal, untuk BI, OJK, dan LPS, mekanisme dan tata cara pemberhentian pejabat sudah diatur dalam UU P2SK. Jadi, harusnya DPR mematuhi akan UU P2SK yang dilahirkan oleh DPR. Tidak ada pasal yang menyebut bisa dicopot di tengah jalan, kecuali meninggal, berhalangan tetap, kasus hukum berat. Mekanisme tidak datang dari DPR. Sementara DPR dalam mekanisme check & balance punya hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Harusnya memakai mekanisme ini.
Rentan Intervensi Politik
Nah, jika tata tertib DPR yang diberlakukan kepada pihak lain, maka dapat disebut tatanan trias politika seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif sepertinya sudah tinggal fatamorgana. Indonesia tidak lagi mengenal supremasi hukum, tapi tampaknya supremasi politik. Kita bisa merasakan supremasi politik telah menimbulkan banyak “gegar otak” pada tatanan kenegaraan yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Menurut catatan Infobank Institute, pencopotan di tengah jalan ini berdampak buruk, khusunya bagi perbankan dan sektor keuangan. Satu, mengganggu independensi BI, OJK dan LPS. Ini menimbulkan bahaya intervensi politik dalam pengambialihan keputusan. Bahaya. Padahal, seharusnya independen dan profesional dalam pengambilan keputusan.
Dua, ketidakstabilan sistem keuangan. Nah, pencopotan pejabat di tengah masa jabatan dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakstabilan dalam sistem keuangan. Investor dan pasar keuangan mungkin meragukan kredibilitas lembaga-lembaga tersebut, yang berpotensi memicu gejolak ekonomi
Tiga, kepercayaan publik jadi luntur. Pencopotan pejabat yang telah disumpah dan menjalankan tugasnya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan. Masyarakat dan pelaku usaha mungkin mempertanyakan integritas dan profesionalisme BI, OJK, dan LPS
Empat, risiko intervensi kepentingan politik makin besar. Jadi, lembaga keuangan rentan terhadap intervensi kepentingan politik jangka pendek, terutama menjelang Pemilu. Hal ini dapat mengarah pada kebijakan yang tidak optimal, seperti ekspansi kredit besar-besaran untuk kepentingan elektoral. Atau, BI diminta cetak uang menjelang Pemilu.
Lima, terganggunya koordinasi antar lembaga. Disadari perubahan pimpinan di tengah jalan dapat mengganggu koordinasi antar-lembaga dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Hal ini dapat memengaruhi efektivitas penanganan krisis dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan.
Inilah ciri-ciri penting negara menuju kegagalan ketika politisasi terjadi di segala penjuru mata angin, khususnya kepada lembaga-lembaga independen seperti BI, OJK dan LPS. Pencopotan di tengah jalan tidak hanya salah kaprah, tapi juga di luar batas, dan berbahaya bagi sistem keuangan Indonesia yang rentan. Sekuat-kuatnya Orde Baru, tak akan melakukan praktik-praktik “jorok” ini. Harus dihentikan.
(Sumber: infobanknews.com)
